Kedudukan Akal Dalam Islam
Kedudukan Akal Dalam Islam. Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan atau diberikan dalam diri manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
Yang Artinya :
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
Yang Artinya :
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Dengan Sebaliknya Allah mencela orang orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
Yang Artinya :
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10).
Kata ‘aqala (derivasi dari al ‘aql/akal) mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir. Pengertian, pemahaman, dan pemikiran ini dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa ungkapan dalam ayat al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.
Pandangan umum selama ini yang menyatakan bahwa aktivitas berpikir, mengetahui, merenung, dan memahami yang dianggap berada di otak (kepala), menurut Harun Nasution dengan mengutip pandangan Prof. Izutsu, merupakan perubahan arti yang disebabkan oleh masuknya pengaruh filsafat Yunani (istilah nous) ke dalam pemikiran Islam.
Dalam pandangan lain, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Akal menjadi potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat –sebagaimana arti dari bahasa arabnya—yang menghalangi seseorang dari terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal yang dianggap sebagai potensi manusia yang mampu menjangkau dan memahami semua persoalan, merupakan kekeliruan identifikasi. Karena tidak semua persoalan agama dapat dimengerti oleh akal.
Sumber Referensi
Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam, Lentera Hati & Pusat Studi al-Quran,
Yang Artinya :
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
Yang Artinya :
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Dengan Sebaliknya Allah mencela orang orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
Yang Artinya :
“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk: 10).
Kata ‘aqala (derivasi dari al ‘aql/akal) mengandung arti mengerti, memahami, dan berpikir. Pengertian, pemahaman, dan pemikiran ini dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada. Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa ungkapan dalam ayat al-Quran, di antaranya adalah sebagai berikut.
- QS Al-Hajj [22]: 46, “ ” menunjukkan bahwa kalbu berada di dada.
- QS Al-Hajj [22]: 46, “ ” menunjukkan bahwa aktivitas kalbu adalah aktivitas berakal.
- QS Al-A’raf [7]: 179, “ ” menunjukkan bahwa aktivitas kalbu adalah memahami.
- QS At-Taubah [9]: 93, “ ” menunjukkan bahwa aktivitas kalbu adalah mengetahui.
- QS Muhammad [47]: 24, “Apakah mereka tidak men-tadabburi al Quran ataukah kalbu mereka telah terkunci?” menunjukkan bahwa aktivitas kalbu adalah tadabbur (merenung).
Pandangan umum selama ini yang menyatakan bahwa aktivitas berpikir, mengetahui, merenung, dan memahami yang dianggap berada di otak (kepala), menurut Harun Nasution dengan mengutip pandangan Prof. Izutsu, merupakan perubahan arti yang disebabkan oleh masuknya pengaruh filsafat Yunani (istilah nous) ke dalam pemikiran Islam.
Dalam pandangan lain, M. Quraish Shihab menerangkan bahwa akal adalah daya pikir yang bila digunakan dapat mengantar seseorang untuk mengerti dan memahami persoalan yang dipikirkannya. Akal menjadi potensi manusiawi yang berfungsi sebagai tali pengikat –sebagaimana arti dari bahasa arabnya—yang menghalangi seseorang dari terjerumus dalam dosa dan kesalahan. Akal yang dianggap sebagai potensi manusia yang mampu menjangkau dan memahami semua persoalan, merupakan kekeliruan identifikasi. Karena tidak semua persoalan agama dapat dimengerti oleh akal.
Sumber Referensi
Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam, Lentera Hati & Pusat Studi al-Quran,
Post a Comment for "Kedudukan Akal Dalam Islam"
Post a Comment